Para-Para Adat

ARTIKEL

SENI MELUDAH DI TANAH PAPUA
Oleh: George Junus Aditjondro*

ADAKAH seni meludah? Ada, apabila yang diludahkan adalah cairan hasil kunyahan pinang muda (Areca catechu), kembang sirih dan kapur hasil pembakaran kerang. Selain itu, tidak sembarang orang dapat menguasai seni meludah cairan pinang dan teman-temannya itu. Sang peludah harus cukup akrab mengunyah pinang, dan tidak teler setelah mengunyah sebiji pinang muda dan kawan-kawannya. Kalau tidak, mana cukup ludah pinangnya untuk menghiasi selembar kanvas? Apalagi ludahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari sebiji pinang semakin berkurang kepekatan dan warna merahnya.

Tapi itupun belum cukup untuk menjadi pelukis ludah pinang. Para pekerja seni ini harus punya dorongan emosional, untuk mengunyah pinang sebanyak mungkin, untuk mengisi selembar kanvas, atau selembar kulit kayu, medium lukisan orang Sentani. Para pekerja seni ini bagusnya didorong oleh kemarahan untuk meludahkan isi hati bersama isi mulut mereka, ke atas kanvas atau kulit kayu. Semua itu ada di Tanah Papua, baik di provinsi Papua maupun Papua Barat, karena para pengunyah pinang di pulau kasuari di mana-mana selalu diingatkan oleh papan peringatan di dinding tempat-tempat umum, yang berbunyi: “DILARANG MELUDAH PINANG DI SINI!”


Memang, ada stigma jorok terhadap para pengunyah pinang di Tanah Papua. Bersama stigma jorok itu adalah stigma budaya terbelakang, sebab di banyak daerah di Nusantara, tinggal orang tua dan orang desa saja yang masih mengunyah pinang. Sementara orang muda dan orang kota, sudah beralih ke rokok.

Genre baru seni lukis ini dipamerkan selama lima hari oleh Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat (Belantara) Papua di Rumah Budaya Tembi di Sewon, Bantul, Yogyakarta, awal Agustus lalu. Waktu pameran dibuka, penonton dapat menyaksikan sendiri, proses melukis, atau tepatnya, proses meludah di atas kanvas besar oleh dua orang pelukis Papua (Wilhelmus Kalami dan Josua Kristian Binur) dan tiga orang pelukis Yogya (Wardi Bajang, Enjun J.A., Tri Suharyanto Kotrek). Selanjutnya, para pengunjung pameran diajak melihat hasil karya perupa-perupa anggota Belantara Papua, yakni Wilhelmus Kalami, Josua Kristian Binur, Musa, Yesaya Mayor, Lanjar Jiwo, Frans Kacili, Metu Dimara. Ada juga karya kolektif dari beberapa sanggar di Sorong dan Raja Ampat, yakni Koranu Fyak, Warimak, dan Waifoi. Lalu, buat yang masih penasaran, Wilhelmus Kalami dan Lanjar Jiwo menyelenggarakan workshop sehari.


Ternyata, cara melukis dengan ludah pinang ini, tidak gampang, karena pertama harus mengunyah-ngunyah pinang, kapur, dan sirih cukup banyak dan cukup lama, supaya ludahnya bisa pekat dan berwarna merah tua. Kalau tidak, ludahnya sangat cair, dan warnanya coklat muda kekuning-kuningan. Selanjutnya, cairan itu harus segera diusap-usap dengan tangan, membentuk apa yang ada di bayangan sang pelukis.


Paling mudah, menggunakan tangan sebagai “cetakan”, sehingga terbentuk gambar tangan di kanvas, menyerupai lukisan-lukisan manusia gua ribuan tahun lalu. Lihat saja di gua-gua di Pulau Misool dan Teluk Mayalibit di Distrik Warsamdin, di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, masih dapat ditemukan lukisan-lukisan “cap tangan” yang terbentuk dari tangan-tangan manusia yang diludahi suatu cairan. Belum diketahui, cairan apa yang digunakan manusia gua dari Raja Ampat, ribuan tahun lalu. Namun penduduk setempat percaya, nenek moyang mereka sudah menggunakan ludah pinang.


Yang jelas, gaya lukisan begini, yang dalam literatur Melanesia dikenal dengan istilah gaya “stensil tangan”, merupakan bukti penyebaran nenek moyang rumpun Melanesia, yang bermigrasi entah dari mana, tapi meninggalkan lukisan-lukisan mereka dari gua Leang-leang di Kecamatan Bantimurung di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sampai ke gua Yalo di Pulau Malakula di Kepulauan Vanuatu di kawasan Melanesia, yang terkenal dengan lukisan stensil sepasang tangan. Sementara cabang rumpun yang lain yang menurunkan orang Aborijin, meninggalkan lukisan gua di Pegunungan Kimberley di Australia Barat Laut, di mana bukan lukisan stensil tangan yang menonjol, tapi lukisan bergaya Wanjina. Itulah mahluk-mahluk pelindung mereka, yang punya mata dan telinga, tapi tanpa mulut. Mirip mahluk-mahluk antariksa yang sering kita lihat di film-film science fiction.


Diilhami lukisan “stensil tangan” bertangga-tangga di gua-gua Misol dan Teluk Mayalibit, serta didorong larangan meludah pinang yang tertempel di semua tempat umum, beberapa orang pekerja seni di Sorong mulai menjajaki kemungkinan mengalihkan kebiasaan meludah pinang menjadi ekspresi seni. Itulah hasil interaksi pekerja seni dari Yogya, Lanjar Jiwo, yang sudah berbulan-bulan bercokol di Sorong, dengan Jesaya Mayor, seorang perupa berdarah Biak-Betew (turunan diaspora Biak di Kepulauan Raja Ampat). Anggota Sanggar Seni Budaya Koranu Fyak ini sudah berhasil menggunakan teknik melukis ini pada kulit kayu, kertas, dan daun lontar.


Ide ini cepat mendapat tanggapan dari para pekerja seni setempat, apalagi mengingat susahnya memperoleh kanvas dan cat di kota Sorong maupun di Pulau-Pulau Raja Ampat. Setelah sukses mengembangkan teknik seni lukis ini di kalangan masyarakat pesisir, Lanjar Jiwo dan Jesaya Mayor mengembangkannya ke masyarakat Maybrat di Pegunungan Tamrau. Walhasil, seniman-seniman Maybrat mengoleskan ludah pinang pada patung-patung karwar hasil ukiran mereka. Patung-patung kayu ini menggambarkan leluhur mereka.


Kembali ke seni lukis ludah pinang, ada yang melakukan modifikasi, yakni campuran pinang, kapur, dan sirih tidak dikunyah, tapi ditumbuk dalam lesung kecil dan dicampur air, sehingga bisa dipoleskan dengan kwas, seperti cat biasa. Namun baik bagi yang lebih mahir meludah, maupun yang meramu campuran yang ditumbuk dengan air, teknik “stensil” tetap yang paling digemari, dengan tidak hanya menggunakan tangan sang pelukis sebagai ‘sablon’, tapi juga daun-daunan.


Baru setelah sejumlah sanggar di kota Sorong dan di kepulauan Raja Ampat telah mengadopsi seni lukis ludah pinang itu, Belantara Papua, yang didirikan 5 Agustus 2004 di kota Sorong, berusaha memamerkan hasil karya mereka di Jawa. Ornop ini, memang berisikan tokoh-tokoh seniman dan pekerja seni, yang sudah lama bergiat dalam pengembangan berbagai cabang seni di Tanah Papua. Dua orang perintis Belantara Papua, Abner Korwa dan Max Binur, adalah mantan anggota kelompok seni-budaya Mambesak di kampus Universitas Cenderawasih di Abepura, dekat Jayapura. Setelah hijrah ke Sorong, dua orang pekerja seni dari Jawa bergabung dengan mereka, yakni Danar Wulandari, staf peneliti Insist (Yogyakarta) yang kemudian jatuh cinta dan menikah dengan Max Binur, serta Erawati, mantan aktivis Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang kini sudah meninggalkan Tanah Papua.


Dengan demikian, Belantara Papua semakin setia pada namanya, yakni Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat, dalam hal ini, rakyat Papua dan rakyat Jawa. Selain belajar makan pinang, para seniman Yogya juga belajar meludah secara artistik, bersama-sama sahabat merangkap guru-guru mereka dari Papua.


*
Penulis adalah dosen tamu Program Studi Ilmu, Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pencinta seni lukis, dan peneliti kebudayaan Melanesia.

Yosim Pancar Tarian Persahabatan Kontemporer Papua

Jubi—Dua pancar gas, dua pancar keliling kota, kota Jakarta. Dua pancar gas, dua pancar gas kelililing kota, kota Jakarta. Begitulah syair lagu yang sering didendangkan dalam Yosim Pancar di Kampung-kampung di Papua khususnya di Biak Numfor.

Banyak yang tidak mengetahui sejak kapan tarian muda-mudi atau persahabatan dimulai di Papua tetapi tradisi dan budaya suatu masyarakat berkembang sesuai dengan perubahan jaman. Sebenarnya dalam upacara adat tak lepas pula dari tabuhan tifa dan lengkingan suara penari. Misalnya upacara inisiasi bagi para pemuda akil baliq dalam Budaya Biak Numfor. Wor K’bor, upacara inisiasi bagi para pemuda yang telah lulus dari rumah bujang atau Rumsram yang dilakukan selama berminggu-minggu dengan tarian, menyanyi  dan tentunya minum saguer (swansrai).
Wor K’bor ini khusus para pemuda Suku Biak pada jaman dulu sebelum masuknya Injil, guna  menjalani ritus peralihan di mana bagian ujung alat kelamin para pria muda dipotong atau ditiriskan dengan buluh atau bambu yang halus sebagai simbol menuju ke dunia orang dewasa. (Untuk lebih lengkap soal Wor K’bor bisa dalam  Dr JR Mansoben, kumpulan tulisan Prof Dr Koentjaraninggrat, Ritus Peralihan di Indonesia).

Namun demikian menuurut antropolog  Dr Enos Rumansara dalam penelitiannya berjudul Tari yosim pancar dan pergeseran nilai religius tari tradisional orang Biak menyebutkan tarian-tarian khas atau yang sakral dari masyarakat Biak Numfor mengalami pergeseran-pergeseran nilai dari tarian religius menjadi tarian-tarian bersifat kontemporer sesuai perkembangan jaman. Kalau masyarakat di Sarmi lebih mengenal tarian lemon nipis, masyarakat di Wamena juga punya sekise. Bagi masyarakat Suku Dani, Mee, Nduga mengenal tarian Tup dan Tem.
Yosim pancar mulanya berasal dari tarian pergaulan masyarakat Yapen Waropen dan Biak. Awalnya tarian ini hanya terdiri dari Yosim dan Pancar. Dalam perkembangannya dua tarian ini digabung menjadi satu, Yosim Pancar.Sebenarnya jika disimak, tarian-tarian ini bukan tarian khas Papua tetapi paduan antara gerakan khas Papua yang berkembang sesuai peradaban jaman. Atau oleh para pengamat budaya disebut tarian kontemporer. Alat musiknya pun bermacam-macam ada yang asli Papua dan juga dari luar Papua. Hampir kebanyakan anak-anak muda dari Biak Numfor suka membuat gitar, juk dan stand bass dari kayu susu.
Perangkat musik yang digunakan dalam tarian yosim pancar sangat sederhana, terdiri dari uku lele(juk) dan gitar yang merupakan alat musik dari luar Papua. Juga ada alat musik stand bass yang berfungsi sebagai bas dengan tiga tali. Talinya biasa dibuat dari lintingan serat sejenis daun pandan yang banyak ditemui di hutan-hutan daerah pesisir Papua. Alat bass ini ada berbentuk bulat seperti gitar tapi ada pula yang berbentuk kotak. Tak heran kalau ada sentilan yang menyebut para pemegang bas berbentuk kotak  alias “bass tahan perasaan (bas tape).” Pemain bass dalam Yosim Pancar menjadi salah satu daya tarik tersendiri karena pemain bass bisa memetik memakai jari atau juga mengetok-mengetok pakai tangan atau sendal jepit.

Selain tifa sebagai alat perkusi ada juga labu  kering yang diisi dengan manik-manik atau batu kerikil yang disebut kalabasa. Alat ini cukup dimainkan dengan cara menggoyang-goyangkan agar bunyi perkusi yang padu dengan bass.Kalau Yosim, tarian pancar yang berasal dari Biak biasanya hanya diiringi tifa saja, tifa ini merupakan alat musik gendang khas Papua tradisional di daerah pesisir tanah Papua. Gerakan yosim lebih banyak disesuaikan dengan hentakan tifa dan bass. Pemukul tifa biasa menggerakan badang sambil mengangkat tifa ke udara sambil memegangnya.
Kata Yosim Pancar sendiri mulai muncul saat pesawat bermesin jet mendarat di Biak sekitar 1960 an konflik antara Belanda dan Indonesia. Saat itu banyak pesawat tempur Indonesia MIG buatan Rusia melakukan akrobatik di Bandara Mokmer (sekarang Frans Kaisiepo). Bahkan warga sempat mengarang lagu yosim berjudul dua pancar gas. “ Dua pancar gas, dua pancar gas keliling Kota kota Jakarta.” Gerakan tarian meniru pesawat jet tempur atau pancar gas. Sejak itu sebutan Yosim Pancar mulai menjadi terkenal dalam tarian pergaulan anak-anak muda di Tanah Papua khususnya di Teluk Cenderawasih. (JUBI/Dominggus A Mampioper)

 

.::Apa Itu Inisiasi::.


Pengertian Inisiasi 

Inisiasi merupakan upacara yang dilangsungkan sewaktu seseorang memasuki Golongan Sosial tertentu, dan Karena itu mengandung Unsur-Unsur upacara untuk saat-saat kritis dalam kehidupan seseorang (Koentjaraningrat, 1979).
Pada hampir seluruh masyarakat manusia, Hidupnya dibagi kedalam tingkatan-tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut atau dalam istilah Antropologi disebut daur hidup seperti; masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak,masa remaja, masa puber, masa masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa lanjut usia dan lain-lain. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta dan upacara. Penyelenggaraan Pesta dan upacara sepanjang daur hidup itu disebabkan adanya kesadaran bahwa setiap tahap baru dalam daur hidup menyebabkan masuknya seseorang di dalam lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.
Dalam berbagai Kebudayaan ada Anggapan bahwa masa peralihan, yaitu perlalihan dari satu tingkat hidup atau lingkungan sosial ke tingkat hidup atau lingkungan sosial berikutnya, merupakan saat-saat yang penuh bahaya, baik nyata maupun ghaib. Karena itu Upacara-upacara daur hidup seringkali mengandung unsur-unsur penolak bahaya dan ghaib. Dalam Antropologi Upacara-Upacara seperti itu disebut dengan Crisis Rites (Upacara Masa Krisis) atau Rites de Passage (Upacara Peralihan. Upacara-Upacara seperti ini memeiliki arti yang penting, antara lain untuk memberitahkan kepada khalayak ramai mengenai perubahan tingkat hidup yang telah dicapai oleh seseorang.

Inisiasi Sebagai Penyambutan Mahasiswa Baru (Kerabat Baru)

Pada Jurusan Antrologi Fisip-Uncen, acara penyambutan mahasiswa baru ini disebut Inisiasi. Dan di Jurusan Antropologi sendiri, Inisiasi merupakan sebuah acara yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa baru Jurusan Antropologi. Setelah mengikuti Kegiatan Inisiasi maka status mereka akan berubah dari seorang mahasiswa baru menjadi seorang "Kerabat" Antropologi. Setelah menjadi seorang Kerabat maka tali Persaudaraan akan terbangun hingga tamat atau selesai pada bangku perkuliahan. Ini membuktikan Bahwa Inisiasi pada Jurusan Antropologi bukan hanya sekedar acara tanpa arti tetapi benar-benar merupakan suatu ritual yang dilakukan atas peralihan dalam daur kehidupan.
Acara atau kegiatan Inisiasi ini dilaksanakan oleh mahasiswa lama (Senior) sebagai Pelaksana Kegiatan dan mahasiswa baru sebagai peserta Inisiasi di bawah Himpunan Mahasiswa Jurusan sebagai Penanggung jawab kegiatan dan Jurusan Antropologi sebagai pembina sekaligus pelindung. Secara Konsep, Acara Inisiasi Jurusan Antropologi dibuat sebagai ritus (sebagaimana telah dijabarkan pada pengertian) yang dikemas dalam berbagai varia kegiatan untuk mengenalkan secara khusus ilmu antropologi kepada mahasiswa baru, sekaligus sebagai wadah untuk menempah mental dan psikis mereka agar siap menjadi seorang mahasiswa Antropologi secara khusus dan secara umum menjadi seorang mahasiswa yang berfungsi sebagai Agent of Change atau pionir dari perubahan keadaan sosial menuju arah yang lebih baik. diharapkan setelah mengikuti Inisiasi, mereka akan menyadari dirinya telah berada di lingkungan sosial yang berbeda dengan masa sebelumnya dan dapat menjadi lebih peka, kreatif, cerdas dan intelek dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada di dunia kampus dan mampu memahami ruang lingkup Ilmu Antropologi secara khusus dan mampu mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan mereka bermasyarakat.

 

Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia

Apakah relevansi Antropologi untuk Indonesia, saat ini? Pertanyaan ini seolah smash bola volley dari umpan yang tak terduga. Adalah Dosen Senior Antropologi, Amri Marzali, yang melontarkannya. Tampil sebagai keynote speaker dalam “4th International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia”, di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia.

Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi, atau kurang lebih asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini Antropologi berkembang dalam masyarakat yang berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory, sampai seberapa jauh Antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga, berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan Antropologi. Tentu saja ini berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan kah atau untuk kemaslahatan umat manusia?

Berikut beberapa catatan mengenai krisis relevansi seperti yang telah diungkapkan di atas. Pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan, belakangan kajian-kajian yang menggunakan Antropologi sebagai alat analisa, memang semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia, yang ditulis baik oleh sarjana Barat ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa proyek di lingkungan departemen, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, dll, sebagian penelitiannya menggunakan pendekatan Antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah kesehatan dan pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM pun menggunakan jasa ilmu ini dalam riset-riset yang mereka lakukan.

Namun, sayangnya, pada saat yang bersamaan, secara institusional dan akademik, Antropologi tidak menjadi jurusan atau program studi yang marketable. Banyak Perguruan Tinggi Negeri yang tersebar di seluruh Indonesia, tapi tidak mempunyai Jurusan Antropologi; apalagi, untuk Perguruan Tinggi swasta, sepertinya kita belum pernah mendengar ada yang berani membuka Jurusan Antropologi. Hal ini menunjukkan adanya kekhawatiran untuk membuka Jurusan Antropologi: "tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak ada peminatnya". Coba bandingkan dengan Jurusan Akuntansi, Manajemen, Psikologi, atau yang sedang menjadi tren sekarang ini, Jurusan Ilmu Komunikasi!

Alasan yang mudah diduga, mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih Jurusan Antropologi, adalah karena lulusan dari jurusan ini tampaknya tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang sangat wajar dan realistis. Banyak mahasiswa Antropologi yang sering kita jumpai mengaku memilih Jurusan Antropologi sebagai pilihan kedua atau ketiga, ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Artinya, selain dianggap tidak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga bahwa Antropologi belum mampu mempromosikan dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.

Kedua, selama ini, Antropologi masih menjadi disiplin yang lebih berorientasi pada keilmuanan; dalam hal ini sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya adalah penelitian lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, Antropologi juga mengembangkan diri dengan berorientasi "Antropolog sebagai Profesi". Istilah seperti Antropolog, Sosiolog, bahkan juga Geolog, dan beberapa yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim berkonotasi pada kepakaran atau keahlian. Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti. Bandingkan dengan disiplin ilmu Psikologi, yang selain berorientasi keilmuan dengan melahirkan para Sarjana Psikologi, juga mencetak profesi Psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi Antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya.

Hal ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang dibutuhkan adalah kerja keras sehingga pada saatnya masyarakat akan melihat Antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri Marzali, agar Antropologi tidak mengenyampingkan applied anthropology, yang menurutnya, sebagian Ahli Antropologi mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi dari disiplin ilmu ini.

Catatan lain, kita (sebagai Sarjana Antropologi) juga mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang hanya mempelajari tentang masyarakat primitif.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa Antropologi, memang, belum dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian Antropologi yang kini telah menjadi sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Poin ini pun memiliki hubungan dengan Antropologi Terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi.

Akhir kata, semoga catatan kecil ini dapat menjadi peyambung lidah kelu Amri Marzali, dalam memperjuangkan kemajuan disiplin ilmu Antropologi agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan bangsa ini.

 

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA JURUSAN ANTROPOLOGI UNCEN 

Oleh ONie Piero Hpm di Gantrocen (Antropologi Universitas Cenderawasih) · 

Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih 62-87  (Jayapura, 1987). Universitas Cenderawasih (disingkat UNCEN) didirikan pada tanggal 10 November 1962 di Kotabaru (Jayapura sekarang) didasarkan atas Keputusan bersama WAMPA/Koordinator Urusan Irian Barat dan Menteri PTIP Nomor 140/PTIP/1962 tanggal 10 November 1962 dan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 389 tanggal 31 Desember 1962. Pada waktu didirikan Universitas Cenderawasi terdiri atas dua Fakultas,  pertama Fakultas Hukum Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (disingkat FHKK) dengan jurusan: Hukum, Ketatanegaraan dan Ketataniagaan. Sedangkan Fakultas yang kedua adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (disingkat FKIP) yang memiliki Jurusan Bahasa,dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris dsb. Pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Keputusan Menteri PTIP nomor 82 tanggal 20 Juli 1963,  di lingkungan Universitas Cenderawasih telah dibuka sebuah Lembaga yang setingkat dengan Fakultas, yaitu Lembaga Antropologi (disingkat LA) yang mempunyai bagian: Penelitian, Perpustakaan, Permuseuman, Pendidikan dan Tatausaha. 

Pada tanggal 5 Oktober 1964 di lingkungan Universitas Cenderawasih dibuka Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan  (disingkat FPPK) berkedudukan di Manokwari ddengan pertimbangan bahwa Manokwari mempunyai daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian di samping telah ada Lembaga Penelitian dan Pendidikan Pertanian Manokwari (LP3M) yang didirikan  Pemerintah Belanda pada tahun 1961 (Agrarisch Proefstation Manokwari). LP3M ini kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 60/GIJ/1978, sejak tahun 1978 diintegrasikan ke dalam Universitas Cenderawasih.  

Dalam "Buku Kenangan: 25 Tahun Uncen (1962-1987)" tersebut, karena pentingnya peran Antropologi dalam pengembangan masyarakat asli Papua yang memang sejak dahulu sudah diidentifikasi, dan sampai sekarang kita masih perlu menjabarkannya dalam Kajian-kajian Pengembangan Masyarakat Asli di Papua. 
"Hubungan antara kepentingan daerah dengan pengembangan Universitas Cenrerawasih jelas tergambar dari Pola Ilmiah Pokok (PIP) Uncen yang sejak tahun 1976 telah ditetapkan yaitu:  1. Antropologi,  2. Ilmu-ilmu Pertanian.  Penetapan Antropologi dan Ilmu-ilmu Pertanian sebagai PIP bukan berarti bahwa hanya kedua bidang ilmu ini saja yang dikembangkan di Universitas Cenderawasih, namun kedua bidang tersebut diwarnai pengembangan program-program yang diselenggarakan oleh Uncen karena pentingnya kedua bidang ini dalam pembangunan daerah Irian Jaya.  Pendekatan antropologis sebagai salah satu metodologi yang dianut dalam pembangunan di daerah ini didasarkan atas beberapa kenyataan khusus yang bersifat antropologis/sosiologis terdapat di daerah ini yaitu keragaman budaya penduduknya yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang jaraknya seringkali berjauhan dan kondisi sosio-budaya prnduduk asli yang tergolong dalam rumpun budaya Melanesia di Pasifik Barat Daya. Bahasa-bahasa daerah yang relatif sangat banyak memerlukan pengkajian-pengkajian khusus dan mendalam agar unsur-unsur budaya ini kelak dapat lebih dimanfaatkan untuk pembangunan negara. "   dari: Pengembangan Universitas Cenderawasih menyongsong Tahun 2000, oleh Rektor Uncen -- halaman 30-31. --  1987 op. cit.)

Antropologi sebagai salah satu program studi di Universitas Cenderawasih dimulai pada tahun 1978, dibuka berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor : P-03/A1/1978 pada tanggal 9 Januari 1978. Program Studi yang akan mendidik dan melatih calon-calon peneliti dalam bidang Antropologi untuk mengisi kekurangan tenaga peneliti di daerah Irian jaya. Dengan beberapa pertimbangan kemudian program studi tersebut berubah menjadi program studi sampai tingkat Sarjana Muda sesuai dengan Universitas yang pada waktu itu masih Tergolong Universitas Muda.
Mula-mula program studi Antropologi digabung dengan program studi Linguistik di dalam satu jurusan yang diberi nama Jurusan Linguistik dan Jurusan Antropologi. Penggabungan dua cabang ilmu itu dalam satu jurusan dimaksudkan sebagai suatu keputusan yang akan dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan dilatar belakangi oleh banyaknya suku bangsa dan banyaknya bahasa di daerah irian Jaya ini. Disamping itu penggabungan dua bidang ilmu dan pengelolaannya diharapkan bisa berjalan dengan lancar atas dukungan dari program kerja sama Universitas Cenderawasih – Summer Institute of Linguistics (SIL).

Administrasi maupun kegiatan akademik jurusan Antropologi dan Linguistik sampai tahun 1981 ditangani oleh Lembaga Antropologi, tetapi sejak tahun ajaran 1981/1984 dialihkan ke Fakultas Ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial (FIHES) yang kemudian berdasarkan PP.No.05 Tahun 1980 berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). 

Adanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud untuk penyelenggaraan pendidikan Antropologi, maka pada tahun ajaran 1983/1984 kurikulum pada jurusan Linguistik dan Antropologi harus dirubah. Semua mata kuliah Linguistik dihapuskan dari kurikulum. Karena tidak sesuai dengan kurikulum inti yang ditetapkan oleh Depdikbud. Perubahan kurikulum itu membawa konsekuensi terhadap nama jurusan, sehingga nama dirubah menjadi Jurusan Antropologi.

 

Kekayaan Budaya "Jejak Rockefeller Jadi Museum Uncen"


Jejak kematian Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, pada tahun 1961 di daerah Asmat, masih berbekas di Kota Jayapura, Papua. Meskipun tidak bersentuhan langsung, keberadaan Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih menyimpan sejarah itu.

Kedatangan Rockefeller ke Agats awalnya untuk membuat film berjudul The Dead Birds. Dalam perjalanannya, pria yang ketika itu masih berusia 23 tahun tersebut tertarik pada koleksi patung Asmat dan berniat mengumpulkan sejumlah patung untuk dipamerkan di Museum of Primitive Art, New York, Amerika Serikat.

Cuaca buruk yang datang tiba-tiba mengubah segalanya. Perahu yang ditumpangi Rockefeller dan seluruh awak, saat menyeberangi bibir Sungai Betsj, mendadak terbalik. Rockefeller yang terburu-buru ingin pergi ke pantai perahunya justru kehilangan kendali dan menabrak daerah pantai. Itulah kali terakhir kawan-kawan seperjalanannya melihat Rockefeller.

"Sejak kematian Rockefeller itu, patung-patung yang semula hendak dipamerkan justru ditinggal di Papua,"tutur Fredrik Sokoy, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Loka Budaya, Universitas Cenderawasih, di Jayapura.

Gagasan membuat museum muncul sejak tahun 1974. Baru tujuh tahun kemudian museum resmi dibuka. Koleksi-koleksi benda-benda berharga dikumpulkan di tahun-tahun ini, sampai sekitar tahun 1985, ketika Rockefeller Foundation masih membiayai museum itu.

Tahun 1981 museum diserahterimakan dari Rockefeller Foundation kepada Rektorat Universitas Cenderawasih. Ketika itu museum berdiri sebagai sebuah lembaga di kampus, sebelum akhirnya dialihkan menjadi UPT.

Saat ini tercatat sekitar 1.300 benda koleksi tersimpan di museum yang jadi kebanggaan akademisi itu. Sebagian koleksi sudah diikutsertakan dalam beragam pameran yang diselenggarakan di seluruh Nusantara.
"Hanya kami saja kampus yang punya museum. Beberapa universitas baru merintis pembuatan museum,"kata Sokoy yang juga mengajar di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih.

Ragam benda yang menjadi koleksi museum ini mulai dari zaman batu, seperti kapak batu, hingga perahu atau dayung untuk mencari ikan. Begitu pula dengan sejumlah patung, peralatan untuk pemujaan roh-roh, dan dekorasi ruangan seperti lukisan dari kulit kayu.

Meskipun tidak terlalu banyak penambahan koleksi di museum tersebut, masyarakat dan mahasiswa banyak datang untuk belajar. Tingkat kunjungan museum, menurut Sokoy, tidak terlalu mengecewakan meskipun juga belum maksimal.

Para kolektor juga sering datang untuk berburu benda-benda antik yang dijual pada toko benda seni atau art shop yang masih ada di lingkungan museum.

Dana tak masalah, Seperti museum kebanyakan yang selalu tersandung masalah dana, Loka Budaya pun demikian. Dana pembiayaan rutin kini hanya Rp 6 juta per tahun. Pihak museum bisa mendapatkan Rp 25 juta per tahun jika ada bantuan dari pemerintah pusat. Begitu minimnya dana, sampai-sampai pihak pengelola museum pernah berencana menutup saja satu-satunya museum yang dimiliki kampus itu.

Di sisi lain, harga barang-barang koleksi sangat mahal. Untuk mendapatkan satu koleksi dari Asmat, misalnya, perlu dana sampai Rp 30 juta. Karena itu, penambahan koleksi sudah tidak dilakukan lagi sejak tahun 1985-an.

"Sudahlah, jangan mimpi bisa tambah koleksi. Apalah artinya dana rutin untuk museum. Untuk merawat koleksi yang ada saja sudah sulit, apalagi membeli barang baru. Kasarnya, dana itu habis untuk beli teh dan transportasi pegawai,"kata Sokoy.

Tentu keterbatasan dana ini perlu disikapi agar museum tidak jalan di tempat. Secara bertahap, pihak museum mencari akal untuk mengembangkan museum tanpa harus terbentur masalah dana. Mereka mengalihkan fokus pengadaan barang koleksi ke rencana pembuatan pusat laboratorium sosio kultural, semacam sebuah basis data tentang kekayaan suku dan budaya di Papua.

Riset-riset kecil dilakukan untuk mendapatkan karakter dari setiap suku yang ada di Papua. Rencananya, hasil riset berupa data dan foto dimasukkan dalam media online yang bisa diakses oleh pelanggan.
Diharapkan akan ada 50 data suku dimiliki museum pada tahun 2010. Kemauan yang baik tentunya, meski kini belum terlalu membaik. Baiklah!
(Agnes Rita Sulistyawaty/Rudy Badil, Wartawan Tinggal di Jakarta-Wartawan Kompas)

 

"KAPAKPOK " 

Inisiasi Anak Remaja Pada Masyarakat Biak 

Oleh Abner Krey Koibur di Gantrocen (Antropologi Universitas Cenderawasih) 

Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting didalam masyarakat disuatu daerah tertentu. Di dalam komunitas lokal masyarakat biak telah mengenal pendidikan tradisional sebelum pendidikan barat masuk didaerah Biak.

Pendidikan tradisional dilakukan pada saat seorang anak mulai beranjak remaja ke dewasa.Sebagai seorang anak remaja harus di wajibkan belajar di dalam lembaga pendidikan adat istiadat yang di sebut rum sram. Ketika anak remaja tersebut selama berada didalam rum sram orangtua dan sanak saudaranya di larang untuk menengok anak tersebut (C. Akwan, 1984:54)

Sebelum masuk rum sram anak remaja harus mengikuti upacara inisiasi yang disebut kapakpok. Upacara ini bertujuan untuk mendidik mereka, untuk memungkinkan kaum lelaki muda mati secara mental lalu lahir kembali secara mental.Tingkah laku remaja sebelum memasuki rum sram di matikan selama meraka berada dalam pendidikan. Tingkah laku yang baru, mereka peroleh sesudah lulus dari rum sram adalah kelahiran kembali mereka sebagai lelaki dewasa. Melalui upacara inisiasi kematian berubah menjadi kelahiran kembali (Akwan, 1984:59)

Pendidikan tradisional dianggap penting oleh orang Biak, sehingga sebelum seseorang dewasa dan berkeluarga ia terlebih dahulu belajar dalam lembaga tradisional rum sram sehingga anak tersebut ketika sudah dewasa ia sudah dapat bertanggung jawab atas dirinya dan komunitasnya. Di dalam lembaga komunitas rum sram diajarkan keahlian dalam hal; ilmu tentang bangunan perahu, ilmu pengobatan, rahasia pantangan dan mitos dalam keret, sedangkan yang menjadi guru bagi mereka adalah orang yang sudah dewasa dan mempunyai keahlian tertentu.

Ketika pendidikan modern masuk di Biak maka merubah pendidikan tradisional, masyarakat biak mulai diajarkan tentang ilmu baca tulis, ilmu berhitung dan sebagainya yang menunjang kehidupannya di masa yang akan datang. Pendidikan tradisional diganti dengan pendidikan modern yang teratur, serta lebih formal dalam hal materi ajar yang disampaikan dengan tenaga pengajar yang lebih professional sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar